
Oleh: Vallendiah Ayuningtyas, S.Psi. (Pengelola Bimbingan dan Konseling Balai Besar Rehabilitasi BNN)
Kesehatan mental merupakan bagian dari kajian ilmu kejiwaan sejak abad-19. Pada era tersebut, kesehatan mental hanya ditujukan kepada individu yang memiliki gangguan kejiwaan berat. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, ruang lingkup kesehatan mental mengalami perkembangan. Saat ini, kesehatan mental merupakan bagian dari aspek kehidupan manusia, terlepas dari individu tersebut memiliki gangguan mental berat ataupun tidak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), kesehatan didefinisikan sebagai kondisisehat dan sejahtera secara fisik, mental, maupun sosial serta ditandai dengan ketiadaan gejala penyakit. Artinya, kondisi sehat tidak hanya menekankan pada aspek fisik semata, tetapi juga melibatkan aspek mental.
Tahun 2017, WHO meluncurkan peta kesehatan mental yang menggambarkan informasi terbaru di 180 negara. Data tersebut menyimpulkan bahwa 72% negara anggota WHO memerjuangkan kebijakan kesehatan mental, dan 57% negara memerjuangkan hukum kesehatan mental. Hal yang paling penting adalah, sejumlah 94 negara anggota WHO sudah mengembangkan atau memperbaharui, serta membuat rancangan kebijakan kesehatan mental yang sejalan dengan Hak Asasi Manusia Internasional (Lora et al., 2018).
Masalah kesehatan mental selama pandemi covid-19
Pada saat pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2019, isu mengenai kesehatan mental semakin booming. Penanganan yang berfokus pada kondisi fisik selama pandemi, berdampak pada pengabaian penanganan kondisi mental. Padahal, Asian Institute Research (Sritharan & Sritharan, 2020) menyatakan bahwa, penanganan yang tidak paralel antara fisik dan mental, berdampak pada munculnya masalah kesehatan mental yang substansial pada level global. Masalah kesehatan mental yang muncul selama pandemi Covid-19 meliputi: stres akut, kecemasan terinfeksi virus Covid-19, efek buruk dari panjangnya frekuensi menjaga jarak (social distancing), isolasi secara sosial, masa karantina, kehilangan anggota keluarga karena terinfeksi Covid-19, serta kehilangan pekerjaan hingga mengalami stigma sosial karena terinveksi Covid-19. Pada beberapa kasus, stigma sosial justru menambah buruk kondisi mental seseorang.
Memburuknya kondisi mental selama pandemi, berkorelasi dengan meningkatnya perilaku berisiko seperti: tingginya intensitas mengonsumsi alkohol atau penyalahgunaan narkotika, ketidakhadiran terus menerus di tempat kerja, perilaku nekat (recklessness), pembelian secara impulsif (panic buying), serta lingkungan kerja yang menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Menurut hasil survei pada awal pandemi Covid-19 terdapat 1 dari 5 orang (rentang usia 15-29 tahun), memiliki ide untuk mengakhiri hidup. Satu tahun kemudian, ditemukan data bahwa 2 dari 5 orang memiliki ide bunuh diri. Saat ini, diawal tahun 2022, 1 dari 2 orang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup (Kemenkes, 2022). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh (Sianturi & Zulaeha, 2022), bahwa pandemi Covid-19 menjadi pemicu meningkatnya upaya bunuh diri di Indonesia.
Urgensi Kebijakan Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesehatan yang menyeluruh, meskipun pada negara tertenu, isu ini belum dianggap sesuatu yang penting. Melalui penelitiannya, (Ridlo, 2020) menuliskan bahwa meningkatnya masalah kesehatan mental selama pandemi, menjadi tantangan bagi aktor kebijakan di Indonesia. Selain merujuk pada kajian sebelumnya, penulis menerapkan metode brainstorming kepada beberapa tenaga kesehatan mental di RS/RSJ. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan ide atau pemikiran dari para tenaga kesehatan, yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk membentuk regulasi mengenai penanganan kesehatan mental di Indonesia. Kesimpulannya, ketiadaan regulasi yang secara spesifik mengatur penanganan kesehatan mental, menjadi hambatan utama para tenaga kesehatan mental melakukan mitigasi penanganan gangguan mental selama pandemi Covid-19. Hingga saat ini, penanganan gangguan mental masih merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Kes-Wa) No. 18 tahun 2014 (Kemenkes, 2014). Sayangnya, UU tersebut masih berfokus pada penanganan kuratif, belum melibatkan penanganan preventif, promotif, bahkan rehabilitatif. Hal tersebut menjadi indikator bahwa payung legislasi kesehatan mental di Indonesia belum menaungi upaya lain, kecuali penanganan kuratif yang ditujukan bagi penyintas gangguan mental berat.
Referensi
Kemenkes. (2014). 2-Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Kemenkes. (2022, May 13). Pandemi Covid-19 Memperparah Kondisi Kesehatan Jiwa Masyarakat. Kementerian Kesehatan.
Lora, A., Saxena, S., & Altena, M. (2018). Global mental health: how are we doing? World of Psychiatric Assosiation, 17(3), 367–368. https://doi.org/10.1002/wps.20572
Ridlo, I. A. (2020). Pandemi COVID-19 dan Tantangan Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia. Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 5(2), 1–10. https://doi.org/10.20473/jpkm.v5i12020.155-164
Sianturi, R., & Zulaeha, A. (2022). PENINGKATAN BUNUH DIRI PADA MASA PANDEMI COVID-19 DAPAT DISEBABKAN OLEH DEPRESI. Jurnal Ilmiah Keperawatan Altruistik (JIKA), 5(1).
Sritharan, J., & Sritharan, A. (2020). Emerging Mental Health Issues from the Novel Coronavirus (COVID-19) Pandemic. Journal of Health and Medical Sciences, 3(2). https://doi.org/10.31014/aior.1994.03.02.109